Rabu, 08 Agustus 2012

Orang tua berusia 200 tahun

Kehidupan ini indah atau derita ditentukan oleh dari sudut mana kita memandangnya dan dengan kondisi batin apa pula kita merasakannya. Jika berada pada sudut penuh rasa syukur dan berpegang pada kondisi batin yang kenal puas serta menghargai berkah, maka segala sesuatu yang kita lihat dalam keseharian merupakan pemandangan yang sangat indah. Dari itu, kita harus senantiasa memelihara sebuah hati penuh rasa syukur dan kenal puas.

Menjalankan ajaran, melepaskan kekikiran dan keserakahan

Pernah sekali ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dharma di Kalandaka Venuvana, Rajagrha, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar, Sang Buddha berkata kepada Ananda: “Coba kamu ke luar dan lihat mengapa ada suara ribut?” Saat Ananda tiba di luar, dia melihat ada seorang tua yang bertubuh bungkuk dan berjalan dengan tongkat, terus memohon kepada penjaga pintu agar diijinkan masuk untuk bertemu dengan Sang Buddha.

Penjaga pintu mengatakan padanya: “Sang Buddha sekarang sedang membabarkan Dharma, anda ini sudah pun pekak, jadi anda juga tidak akan tahu apa yang dibabarkan oleh Sang Buddha; apalagi anda juga kurang leluasa berjalan, jika masuk sekarang hanya akan mengganggu saja.” Orang tua menjawab: “Usiaku sudah sangat lanjut, jika hari ini tidak bisa bertemu dengan Sang Buddha, mungkin di kemudian hari tidak ada kesempatan lagi. Bolehkah anda berbaik hati untuk mengijinkan saya masuk dan bertemu dengan Sang Buddha?” Akan tetapi penjaga pintu tetap melarangnya masuk.

Setelah mendengarnya, Ananda masuk dan menceritakannya pada Sang Buddha, Sang Buddha berkata dengan penuh welas asih: “Lekas papah orang tua itu untuk masuk ke mari.” Oleh karenanya Ananda lalu dengan sikap sangat hormat memapah orang tua menuju ke hadapan Sang Buddha. Orang tua sangat gembira bertemu dengan Sang Buddha dan terus bersujud pada Sang Buddha. Sang Buddha bertanya: “Orang tua, berapa umur anda sekarang?” Dengan tangan gemetar, orang tua mengisyaratkan dengan dua telunjuknya dan berkata: “Dua ratus tahun.”

Sang Buddha berkata: “Usia anda sudah sedemikian lanjutnya, apa urusan anda mencari saya?” Orang tua menjawab: “Sang Buddha, apa sebetulnya karma yang pernah saya ciptakan dulu, mengapa saya harus hidup sedemikian lamanya? Sejak kecil sampai sekarang, saya terus menjalani kehidupan yang miskin dan penuh siksaan. Saya benar-benar ingin terbebaskan darinya, namun urusan hidup dan mati bukan urusan sepele, saya tidak bisa merubah suratan takdir. Mengapa kehidupan saya sedemikian miskin dan penuh hambatan?”

Sang Buddha berkata kepadanya: “Semuanya merupakan hukum karma. Pada masa kehidupan lampau, anda adalah seorang kaya, namun sangat kikir. Ketika ada orang miskin mengemis pada anda, anda tetap tidak mau berdana. Itu sebabnya, walau usia kehidupan anda sekarang sangat panjang, namun kehidupan anda penuh dengan siksaan.” Setelah mendengarnya, orang tua berkata dengan penuh rasa malu: “Ternyata saya sangat kikir dan serakah dalam masa kehidupan lampau, makanya kehidupan sekarang sangat miskin dan menderita. Saya mohon agar Sang Buddha mau menerima saya sebagai murid, agar saya dapat mempergunakan sisa hidup ini untuk bertobat dan membina diri baik-baik, semoga dalam masa kehidupan mendatang, saya berkesempatan untuk mendengarkan ajaran Buddha pada masa masih sangat muda sekali.”

Sang Buddha berkata: “Dalam membina diri tidak membedakan tua atau muda, orang muda boleh membina diri, orang tua juga boleh membina diri; mulai dari sekarang, anda harus berikrar untuk melepaskan kekikiran dan keserakahan, serta memupuk hatin rela bersumbangsih dengan suka cita, anda harus berusaha semampunya untuk menjalin jodoh baik dengan lebih banyak orang.” Orang tua menjawab: “Sang Buddha, saya pasti menjalankan ajaran Anda.” Pada waktu itu juga, Sang Buddha menerima orang tua itu sebagai murid dan menjadi Bhikkhu.  

Kenal puas mendatangkan kehidupan yang bahagia

Lihat pada kisah ini, coba pikirkan jika seseorang hidup panjang umur, apakah hari-harinya dapat dilalui dengan baik? Tidak semuanya begitu! Segala kerisauan bersumber pada keserakahan, kebencian dan kebodohan. Contohnya adalah perampokan atau penculikan yang terjadi dalam masyarakat, mengapa penjahat melakukannya? Sebagian besar karena “serakah”.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, satu atau dua mangkuk nasi dalam sekali makan sudah cukup, beberapa kaki panjang bahan kain sudah cukup untuk menghangatkan tubuh, ranjang seluas tiga kali enam kaki sudah cukup untuk tidur nyenyak. Dari itu, asal mau bekerja keras, setiap orang tentu bisa hidup dengan baik, mengapa harus merampok atau mencuri?

Saya sering mengatakan: “Hukuman terberat dalam kehidupan adalah penyesalan.” Jika seumur hidup tidak pernah melakukan hal yang mendatangkan penyesalan, itulah kehidupan paling bahagia; sebaliknya, jika niat pikiran tidak terjaga dengan baik, begitu keserakahan dan kebencian timbul dalam batin, tentu akan berbuat kejahatan, ingin menyesal juga sudah terlambat.

Tidak menyebut lelah, hanya ada bahagia

Kita datang ke dunia ini harus memiliki panggilan jiwa, harus hidup demi bekerja, bukan bekerja demi hidup. Hidup demi bekerja adalah bersumbangsih demi orang banyak; jika bekerja demi hidup, maka kehidupan akan terasa sangat tidak berdaya! Banyak orang baru bekerja beberapa tahun sudah merasakan gejala kelelahan profesi, berteriak capek dan susah; akan tetapi di dalam dunia Tzu Chi, tiada ucapan “lelah”, hanya ada ucapan “bahagia”.

Tak peduli seberapa banyak pun pekerjaan, insan Tzu Chi tetap melakukannya dengan sangat ikhlas, itu sebabnya saya tidak pernah mengatakan kalau mereka telah bekerja dengan melelahkan, melainkan sangat “Bahagia!”, begitu mereka mendengarnya akan dengan otomatis akan membalas dengan perkataan: “Memuaskan!” Inilah kehidupan yang hidup demi bekerja. Jika terpaksa harus bekerja demi hidup, biasanya belum bekerja sudah terasa sangat melelahkan, ini disebabkan oleh perbedaan “konsep pemikiran”.

Jika seseorang memiliki hati berterima kasih, dia tentu akan tahu untuk membalas kebaikan orang; jika dalam hati memiliki cinta kasih, dia tentu akan menciptakan keberkahan bagi orang banyak. Bukankah masyarakat dan kehidupan seperti ini akan sangat indah?

※ Dikutip dari buku “Aku cinta keluargaku” karangan Master Cheng Yen
 
兩百歲老人的故事
 
人生是苦是美,要看站在什麼角度去看、用什麼心情去感受而定。若是站在感恩的角度、抱著知足惜福的心境,那麼每天所看到的一切,都會是很美的景致。因此,我們要時時保有一顆感恩與知足的心。

依教奉行 捨去慳貪

有一次佛陀在王舍城的竹林精舍說法時,忽然外面傳來一陣吵雜聲,佛陀就對阿難說:「你出去看看外面的聲音是怎麼回事?」阿難走到外面時,看到一位駝背、拄著枴杖的老人,一直要求守門人讓他進去見佛陀一面。

守門人告訴他:「佛陀現在正在講經,你老人家耳朵重聽,佛陀講經你聽不懂;而且你走路又不方便,進去會引起騷動。」老人說:「我的年紀這麼大,今天若見不到佛陀,以後可能就再也沒有機會。請你好心讓我進去見佛陀一面好嗎?」但是,守門人仍然不肯讓老人進去。

阿難聽了,便進去告訴佛陀這件事,佛陀慈悲地說:「趕快扶那位老人家進來。」於是,阿難很恭敬地扶老人來到佛陀的座前。老人見到佛陀時很高興,淚流滿面地一直向佛陀叩拜。佛陀問:「老人家,你今年幾歲了?」老人用顫抖的手比了兩指,說:「兩百歲了。」

佛陀說:「你年紀這麼大,找我有什麼事情呢?」老人說:「佛陀,我到底造了什麼業,為什麼讓我活這麼久?從小到現在,我一直過著貧苦且受盡折磨的生活。我真想解脫,但是生死事大,我不能自己改變命運。為什麼我的人生會這麼貧窮、坎坷呢?」

佛陀告訴他:「一切都是因緣。你過去生原本是一位 富有的人,但卻視財如命。有窮人來向你乞討時,你總是吝於布施。所以,你這一生雖然長壽,生活卻受盡各種折磨。」老人聽了,很慚愧地說:「原來我過去生很 慳貪,這一生才會如此貧窮、坎坷!我想請求佛陀收我為弟子,讓我盡此生好好懺悔、修行,來生能在年少時就能 聽聞佛法。」

佛陀說:「修行當然不分老少,年輕人能修行,老人也能修行;從現在開始,你要發願捨去慳貪、培養喜捨之心,盡量廣結善緣。」老人說:「佛陀,我一定依教奉行。」於是,佛陀就讓那位兩百歲的老人出家,收他為弟子。

知足常樂 幸福人生

看了這則故事,想想一個人活得長壽,日子是不是很好過呢?不盡然!一切煩惱,皆因貪瞋癡而起。例如社會上所發生的搶劫、綁架等事件,歹徒為的是什麼呢?大都是因為「貪」。

其實人的生活一餐一、兩碗飯就夠;身體只需幾尺布就能不受寒凍;三尺寬六尺長的床就能睡得很安穩。所以,只要肯認真努力,每個人都可以生活得很好,為什麼要去搶、去偷呢?

我常說:「人生最大的懲罰是後悔。」如果一生從沒做過後悔的事,就是最幸福的人;反之,如果心念沒有照顧好,貪瞋心一起而做錯事,後悔就來不及。

不喊辛苦 只有幸福

我們來到這世間一定要有使命感,要為工作而生活,不要為生活而工作。為工作而生活,就是為人群付出;如果是為生活而工作,人生會很無奈!有很多人才工作沒幾年,就有職業倦怠症,喊累、喊辛苦;但在慈濟世界裡,沒有「辛苦」這兩個字,只有「幸福」。

慈濟人不管有多少工作量,大家都很甘願地投入其中。所以,我都不說他們工作很辛苦,而會說很「幸福!」,他們聽到時,也都會自然地回答:「美滿!」這就是為工作生活的人生。如果是為生活不得不工作,往往還沒開始工作就覺得很累,這是因「觀念」不同所致。

一個人若有感恩心,就會懂得回饋;心中有愛,就會造福人群。這樣的社會和人生,是不是很美麗?

本文摘自:證嚴上人著作《吾愛吾家
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar