Kamis, 01 Maret 2012

Ketidak beruntungan bersumber pada cacat batiniah

Sejak jaman dahulu, masyarakat Tionghoa sangat menekankan nilai-nilai positif daripada pola hidup “rajin, hemat dan tahan susah”, tak peduli berada di negara mana pun, selalu saja mengandalkan kerja keras, makanya kebanyakan dari warga Tionghoa berhasil menggapai kesuksesan di berbagai belahan dunia.

Namun sekarang angin barat telah berhembus ke timur, pola hidup yang menekankan konsumsi dan kenikmatan perlahan-lahan mulai menggantikan pola pemikiran “rajin dan hemat pangkal kaya”; kehidupan bermewah-mewahan dari banyak orang sebetulnya dibangun pada landasan yang rentan, membuatnya mudah goyah dan sulit tenang.

Di daerah Yunlin Taiwan ada sepasang ibu dan anak dengan keterbelakangan mental, anak bernama A Yi sangat rajin, setiap hari pulang pergi dengan bersepeda menempuh jarak 20 kilometer untuk bekerja sebagai pemindah kotak karton di “Pabrik Harapan” bagi penyandang cacat fisik dan mental; ibunya juga ikut mengajukan diri kepada pemilik pabrik untuk bekerja sebagai pekerja kasar, tetapi pemilik pabrik khawatir kalau usianya sudah sangat lanjut, dia menjawab: “Kalau puteraku sanggup memindahkan barang, saya juga sanggup memanggulnya.”

Kedua ibu dan anak ini menggunakan hati yang murni dan jernih untuk menutupi cacat lahir mereka, mereka dengan kerja jasmani mencukupi kebutuhan hidup sendiri; bukan saja tidak membutuhkan bantuan sanak keluarga dan teman lagi, bahkan mereka mampu hidup hemat untuk menyisihkan uang dan menyumbangkannya ke Tzu Chi demi membantu orang lain; benar-benar membuat orang merasa kagum dan terharu.

Kuli pengangkut barang berlengan tunggal yang tidak ditaklukkan oleh kesulitan

Di Tiongkok ada seorang ayah yang berlengan tunggal, selama 21 tahun ini dia membesarkan kedua orang puteranya seorang diri. Semula dia adalah seorang pekerja tambang batu bara, namun dia kehilangan sebuah lengan dalam suatu kecelakaan, kemudian dia pergi ke Gunung Huashan untuk bekerja sebagai kuli pengangkut barang, dalam sehari dia mengangkut barang sebanyak dua kali perjalanan, setiap kali perjalanan memikul beban lebih dari 70 kg dan menghabiskan waktu selama dua jam lebih dalam mendaki anak tangga setinggi 1.100 meter untuk menghantarkan bahan kebutuhan hidup ke atas gunung.
 
Jika kuli pengangkut barang lain bisa sebelah tangan berpegang pada rantai, sebelah tangan lagi menyangga pada tongkat, mendaki ke atas gunung dengan hati-hati; namun dia hanya memiliki sebuah lengan, dia terpaksa menggunakan dua jari tangan untuk memegang tongkat dan tiga jari tangan mengait pada rantai besi, memungkukkan badan untuk menahan beban sampai ke atas gunung. Kerja kerasnya ini hanya mendapatkan imbalan sebanyak sembilan puluhan ribu perhari. Ketika puteranya yang bekerja di luar daerah pulang ke rumah, dia pernah sekali menemani sang ayah bekerja, ada beberapa kali puteranya ini menangis ingin menggantikan sang ayah memikul barang; namun sang ayah tidak ingin anaknya mengalami kesusahan ini dan berkata pada anaknya: “Asalkan kamu memiliki cita-cita tinggi dan berprilaku benar, maka kesusahan ini akan ada nilainya.”
 
Tak peduli kondisi luar bagaimana, asal setiap orang dapat meningkatkan taraf batin masing-masing, menunaikan kewajiban dengan baik, menjaga sebuah niat pikiran baik, tahu untuk mengatasi kesulitan, bukannya ditaklukkan oleh kesulitan, maka masyarakat ini baru bisa aman dan selamat; jika semua orang bersatu hati dan bergotong royong, tentu akan dapat sama-sama menciptakan masyarakat yang damai dan makmur. Sebaliknya jika dilihat pada masyarakat jaman sekarang, banyak orang tidak mau hidup menghadapi kesusahan, atau jika menemui sedikit kesusahan, lalu merasa semua orang bersalah padanya; “cacat batiniah” pada manusia dapat menyebabkan “bencana batiniah” pada masyarakat.
 
Saya berharap agar batin setiap manusia dalam masyarakat dapat lebih “murni dan bajik” --- setiap orang berpanutan pada orang yang telah bertekad luhur; dalam pola kehidupan yang rajin dan hemat, berusaha menaklukkan nafsu keserakahan dan kemalasan, serta membangkitkan kondisi batin yang aktif, dapat menggenggam setiap detik untuk bersumbangsih demi masyarakat.

Dikutip dari Majalah Tzu Chi edisi 539
 
不幸來自心理殘障
 
自古以來,華人社會很強調「克勤、克儉、克難」的價值觀,不論落腳到哪一個國家,總是胼手胝足打拚,所以華人在世界各地大多能有很好的成就。

然而現今西風東漸,強調消費、享受的生活型態,逐漸取代「勤儉致富」的觀念;許多人奢侈的生活,其實是建立在危脆的基礎上,以致飄搖難安。

在臺灣雲林有一對弱智的母子,兒子阿義非常勤奮,每天騎腳踏車來回奔波二十公里,到身心障礙者「希望工廠」搬運紙箱;媽媽也向老闆毛遂自薦要來做粗工,老闆擔心她年紀太大,她說:「我兒子搬得動,我也扛得動。」

母子倆用單純清淨心,彌補先天的缺陷,靠勞力自食其力生活;不只不再接受親友接濟,更省吃儉用每月捐款給慈濟助人;實在令人讚歎且感動。

獨臂挑夫 不被困難克服

在大陸則有一位獨臂的父親,二十一年來父兼母職獨立撫養兩個兒子。他原本是煤礦工人,在災變中失去一隻手臂,後來到華山當挑夫,一天兩趟,每次負重超過七十公斤,花兩個多小時爬上一千一百公尺的階梯,運送生活物資上山。

他挑夫可以一手拉著鐵鍊、一手撐拐杖,戰戰兢兢往上爬;但他只有一隻手,只好用兩根手指頭拿拐杖、三根手指頭扣住鐵索,一路駝負重物上山。如此辛勤工作, 每天收入約只新臺幣三百多元。在外地工作的兒子回來,陪著爸爸走一趟,好幾次哭著要代替爸爸挑;但他不讓孩子體驗這樣的苦,告訴兒子:「只要你有志氣,做 人做得正,這分辛苦就有價值。」

無論外在環境如何,只要人人提升自我心靈境界,守好本分、守好一念善,懂得克服困難、不被困難克服,社會 才能平安;人人合心、協力,就能共創祥和而富有的社會。反觀現代社會,許多人不願吃苦,或是吃了一點點苦,就好像天底下人都對不起他;人的「心理殘障」, 會造成社會的「心理災難」。

期待社會人心能多一點「純善」——人人向立志的人生看齊;從克勤克儉中,克服貪念與懶散,提起積極的心態,把握分秒為社會付出。

本文摘自:《慈濟月刊》539期〈無盡藏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar