Kamis, 24 Mei 2012

Menyeberangi Sungai

Pada masa Sang Buddha masih hidup di dunia ini, pernah suatu kali ketika Ia membabarkan Dharma di seberang sungai, banyak sekali anggota Sangha yang ingin menyeberangi sungai untuk mendengarkan pembabarannya, akan tetapi pada saai itu hanya terdapat satu perahu saja di tepian sungai, pemilik perahu lalu berkata kepada kawanan Bhikkhu: “Perahuku sudah sangat tua, jika kalian semua naik, itu akan sangat berbahaya sekali.” Namun dikarenakan para anggota Sangha ini hendak segera tiba di seberang sungai, maka mereka sama sekali tidak mau menghiraukan peringatan pemilik perahu ini, semuanya naik ke atas perahu, sehingga pemilik perahu dengan sangat terpaksa menjalankan perahunya.
 
Ketika perahu sudah berada di tengah sungai, para Bhikkhu menemukan adanya rembesan air pada bagian dasar perahu, semua orang mulai panik, saat ini pemilik perahu berkata: “Saya sudah katakan kalau perahu sangat tua, namun kalian tidak mau mendengarkannya. Sekarang jika kalian tidak berusaha tetap tenang, maka perahu akan semakin cepat tenggelam.”
 
Mendengar perkataan ini, semua orang segera menenangkan diri dan tidak berani bergerak sama sekali. Beruntung pemilik perahu ini sangat berpengalaman, ia meminta semua orang mengurangi beban yang diangkut perahunya, akhirnya perahu sampai ke tepian seberang dengan selamat.
 
Ketika para anggota Sangha ini bertemu dengan Sang Buddha, mereka menceritakan kejadian tersebut. Sang Buddha mengatakan: “Saat kalian duduk di atas perahu, kalian sangat khawatir akan dilanda bahaya, namun kalian tidak sadar kalau dalam kehidupan ini juga ada bahaya mengancam setiap saatnya. Orang pada umumnya galau akan masa kehidupan mendatang yang belum diketahui, namun sebetulnya yang seharusnya diperhatikan adalah masa kehidupan sekarang ini, yaitu memperhatikan niat pikiran kita saat ini juga, harus menghilangkan lima racun batin berupa keserakahan, kebencian, kebodohan, keangkuhan dan kecurigaan.”
 
Keserakahan, kebencian, kebodohan, keangkuhan dan kecurigaan merupakan beban berat dalam kehidupan
 
Tubuh kita ini bagaikan perahu yang sudah bocor itu. Kita harus berusaha keras untuk mengurangi beban yang diangkutnya, beban paling berat baginya adalah “keserakahan, kebencian, kebodohan, keangkuhan dan kecurigaan”, ini adalah kerisauan yang berat. Jika kita duduk di atas perahu yang bocor, ada kemungkinan kapan saja bisa tenggelam, hanya dengan menempeli kebocoran dan mengurangi beban sajalah, baru kita akan tiba di tepian seberang dengan selamat.
 
Jangan hanya selalu berpikir: Apakah saya akan terlahir di tanah suci surga Sukhavati pada masa kehidupan mendatang? Melainkan kita seharusnya memperhatikan momen sekarang juga, apakah ada kerisauan dalam batin kita? Apakah kita mampu memperlakukan orang dan menangani masalah dengan hati yang lapang? Apakah kita dapat mengecilkan keegoan di mata orang? Ini baru merupakan pelajaran terpenting dalam kehidupan kita ini.
 
Dikutip dari buku “Habis debu terbitlah terang”
 
渡河
 
佛陀在世時,有一次在河的對岸講法。有許多比丘想渡河去聆聽,但是,河邊只有一條船。船主告訴比丘們:「我的船已經很舊了,你們這麼多人要坐,會很危險!」由於比丘們急著要到對岸聽法,根本無視船主的忠告,還是全部都上了船,船主只好勉為其難地開船。
 
當船行駛到河中心時,比丘們發覺船底滲水進來,大家開始感到恐慌!這時船主說:「我說過這條船已經很老舊了,你們卻不聽我的話。現在大家如果不能保持沉靜,船沉的速度將會更快。」
 
大家聽了,都冷靜下來,不敢亂動。還好船主的經驗豐富,請大家盡量減輕船身承載的重量,最後終於將人船平安地送達對岸。
 
比丘們見到佛陀,便述說剛才所發生的事。佛陀說:「當你們坐在船上時,非常擔憂會發生危險,平常卻沒有警覺人生時時刻刻都有危機。一般人常煩惱未知的來世,其實,我們應該好好注意今生此世──注意現在的心念,要滅掉心中的貪、瞋、癡、慢、疑五種毒念。」
 
貪、瞋、癡、慢、疑 人生粗重的負擔
 
我們的身體,好比那艘已破漏的船一樣。我們要盡量減輕船身的負擔,而它最重的負擔就是「貪、瞋、癡、慢、疑」,這是粗重的煩惱。我們若坐在一艘會漏的破船上,隨時都有沉下去的可能,唯有修補漏洞、減輕破船的負擔,才能安全地抵達彼岸。
 
不要只想著:來世是否能夠往生西方極樂世界,而是要注意當下此刻,是否有煩惱?是否能以開闊的心胸待人處事?在別人的心目中,能否縮小自己?這才是人生最重要的課題!
 
本文摘自:《塵盡光生》

Tidak ada komentar:

Posting Komentar