Sabtu, 25 Februari 2012

Sebuah keajaiban bernama “Tzu Chi”

Dosen pada Fakultas Bahasa Mandarin Departemen Budaya Humanis Universitas Tong Ji di Shanghai Tiongkok, Prof. Liu Qiang pernah datang bertemu dengan Master Cheng Yen, sekembalinya ke Shanghai bergabung sebagai relawan pada Asosiasi Guru Tzu Chi setempat. Dalam acara seminar ajaran Konghucu masa kini yang diadakan oleh Universitas Wuhan pada pertengahan Mei 2011, demi menyebarkan luaskan ajaran Master Cheng Yen, Prof. Liu mempresentasikan tulisannya yang berjudul “Pengetahuan dan tindakan adalah satu: Satu-satunya cara dalam perubahan ajaran Konghucu pada masa kini --- menggabungkan konsep pemikiran Master Cheng Yen dan Empat Misi Utama Tzu Chi”, selain itu dia juga menuliskan pengalamannya ketika berkunjung ke Tzu Chi di dalam blog miliknya.

Sebuah keajaiban bernama “Tzu Chi” oleh Lu Qiang

Sudah tiga bulan lebih sejak saya meninggalkan Taiwan, namun perhatian dan kesanku terhadap Taiwan belum juga lekang. Kehidupan di Taiwan selama dua setengah bulan telah memperbaharui pemikiranku sebelumnya terhadap Taiwan, sejak itu setiap kali mengungkit nama Taiwan, dalam hatiku akan muncul sebuah kehangatan. Hasil yang saya peroleh selama di Taiwan sungguh berlimpah, namun kalau dilihat sekarang, maka hasil terbesarnya adalah mengenal Tzu Chi dan mendekat ke Tzu Chi.

Jalinan jodoh berawal dari sebersit niat pikiran

Pada tanggal 28 Februari 2011, hari kedua saya
berada di Hualien, Prof. Wu Guan-hong dari Universitas Dong Hwa Taiwan yang suka menerima tamu membawa saya jalan-jalan. Dalam masa satu hari, kami mengunjungi Li Yu Tan, Qing Xiu Yuan, Taman Cemara dan Chishingtan, pemandangan gunung dan laut yang indah membuat hati terasa lega dan semangat gembira, sampai tidak ingat pulang lagi. Ketika mengendarai mobil dari pinggiran kota menuju daerah kota Hualien dan melewati Jalan Zhong Yang, Guan-hong sambil menyetir mobil sambil menunjuk pada beberapa gedung bangunan di tepi jalan: “Ini adalah Universitas Tzu Chi, ini adalah Jing Si Tang, ini adalah RS Tzu Chi.” Selanjutnya Guan-hong menjelaskan secara singkat sejarah perkembangan Tzu Chi kepadaku, misalnya Tzu Chi didirikan pada tahun 1966 (bertepatan dengan pecahnya revolusi kebudayaan di Tiongkok), sampai sekarang Tzu Chi sudah pun berusia 45 tahun, kantor-kantornya telah tersebar pada 70 negara dan wilayah di dunia ini, umat dan relawannya ada sekitar 10 juta orang. Taiwan memiliki populasi sebanyak 2,3 juta jiwa, dari 4 sampai 5 orang penduduk Taiwan, salah seorangnya adalah relawan Tzu Chi, dan cerita seterusnya.  Perasaanku setelah mendengar semua perkataannya adalah kalau semua kisah fantasi ini sudah ada di depan mataku. Terutama setelah saya tahu kalau sang pencipta keajaiban besar ini, Master Cheng Yen ternyata hanya seorang Bhiksuni yang lahir di Taiwan pada tahun 1937, saya hampir berteriak kagum. Melihat saya mendengar ceritanya dengan asyik, Guan-hong berkata: “Jika ada kesempatan, saya akan membawa anda melihat-lihat.”

Pembicara tidak memiliki niat, namun pendengar ternyata tertarik. Tzu Chi langsung menjadi salah satu tujuan utamaku dalam perjalanan kali ini.
 
Guan-hong juga mengatakan kepadaku bahwa ia memiliki jalinan jodoh sangat mendalam dengan Tzu Chi, ibunya yang bermarga Chen adalah salah seorang daripada 30 ibu rumah tangga yang menjadi murid pertama dari Master Cheng Yen dulu, Guan-hong sekarang berusia 46 tahun dan hampir seumur dengan Tzu Chi, dia tumbuh besar di bawah pandangan mata penuh kasih dari Master Cheng Yen. Ketika masih muda, pada setiap liburan musim panas, dia akan pergi ke tempat kelahiran Tzu Chi dan tinggal beberapa saat di Griya Perenungan. Berbicara sampai di sini, dia terlihat sangat bergairah dan dengan mata bersinar berkata padaku: “Pada foto pertama dalam sejarah Tzu Chi, anak lelaki berusia dua tiga tahunan yang terlihat sedang bermain-main di sudut kanan bawah depan gubuk kecil itu adalah diriku.”
 
Perkataannya ini membangkitkan keinginan lebih besar dalam hatiku. Sungguh sebuah kondisi yang menguntungkan, mungkin dengan rekomendasi Guan-hong, saya akan dapat bertemu dengan Master Cheng Yen. Namun saya tahu kalau ingin bertemu dengan tokoh dunia ternama dan pemimpin agama Buddha yang setiap hari menangani ribuan masalah ini, tentu bukanlah hal yang mudah. Sebersit niat ini terkilas dalam pikiran, namun seketika padam kembali.

Sebulan berlalu dengan cepat. Pada suatu hari di akhir Maret, ketika kami sedang makan dan berbincang-bincang dengan Prof. Ge Chuan-yu dari Universitas Yu Da Taiwan dalam sebuah restoran di Hualien, sekali lagi saya mendengar cerita tentang Tzu Chi dan Master Cheng Yen. Sosok tubuh Prof. Ge sangat tinggi besar, tinggi tubuhnya sekitar 190 cm, namun ketika dia bercerita tentang Master Cheng Yen yang pernah diwawancarainya, dalam matanya memancar rasa hormat dan kehangatan, itu membuat perasaanku bergetar. Dia mengatakan kesan pertama yang diberikan Master kepadanya adalah “karakter dharma penuh keanggunan”.
 
Sekembalinya ke asrama, saya mencoba mencari informasi tentang Tzu Chi di internet. Saya baru tahu kalau insan Tzu Chi yang menerapkan “ketulusan, kebenaran, keyakinan dan kejujuran” ke dalam diri sendiri dan mempraktekkan “empat sifat luhur” kepada orang lain, serta prinsip “satu hari tidak bekerja, satu hari tidak makan” di bawah bimbingan dan pimpinan Master Cheng Yen, ternyata bermula dari sebidang lahan sepi di bawah gunung Hualien, berawal dari “Masa celengan bambu” di mana setiap hari setiap orang menyisihkan 50 sen dan selama 45 tahun merintis kegiatan dalam kesulitan besar, terus giat berusaha membangun satu persatu dari Empat Misi Utama, mulai dari misi amal, misi pengobatan, misi budaya humanis dan misi pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan misi bantuan internasional, misi relawan komunitas, misi pelestarian lingkungan dan misi donor tulang sumsum, semuanya merupakan misi-misi agung yang disebut dengan “Delapan Jejak Dharma”, serta mendirikan “Ajaran Jingsi dan Mazhab Tzu Chi” dalam dunia agama Buddha jaman sekarang. Selama 20 tahun ini, Tzu Chi memegang sebuah peran sangat utama dalam dunia amal dan bantuan internasional, kecepatannya dalam menanggapi kondisi bencana bahkan lebih cepat dari pemerintah sendiri, boleh dibilang di mana saja ada bencana, di sana akan terlihat bayangan insan Tzu Chi; di mana ada orang miskin dan menderita sakit, insan Tzu Chi akan membangun rumah sakit atau mengadakan bakti sosial kesehatan di sana; di mana ada rehabilitasi pasca bencana, insan Tzu Chi akan membangun sekolah di sana. Mereka berpegang pada pesan Master Yin Shun (1906 – 2005) sebagai pionir “Agama Buddha dalam kehidupan” agar “berbuat demi agama Buddha dan semua makhluk”. Master Cheng Yen bangun pagi-pagi sekali dan larut malam baru tidur, selalu memikirkan segala sesuatunya, Master dengan pikiran non duniawi mengerjakan masalah duniawi, membimbing dengan tata krama dan mendidik dengan cinta kasih, membangkitkan pengetahuan intuitif dan kemampuan intuitif dari jutaan umat dan muridnya, benar-benar mampu berbuat dengan “satu pasang mata melihat, ribuan pasang mata sekaligus melihat, satu pasang tangan berbuat, ribuan pasang tangan sekaligus berbuat”, tanpa membeda-bedakan batas negara, agama, ras, pandangan politik atau budaya, membantu mereka yang berada dalam bahaya atau kesulitan dan menyadarkan semua makhluk, sehingga berhasil mendapatkan rasa hormat dan cinta kasih dari para warga pada banyak negara di seluruh dunia, berhasil menciptakan sebuah keajaiban dunia penuh cinta kasih universal tanpa batas.
 
Pada hari itu saya menulis di blog: “Hari ini, saya sekali lagi mendengar cerita tentang Tzu Chi dan Master Cheng Yen dari mulut seorang teman ilmuwan, hatiku lama tidak bisa tenang. Sekembalinya ke asrama, saya mencari di Google dengan kata Tzu Chi, saya temukan kalau organisasi amal berlandaskan agama yang baru berusia 45 tahun ini, ternyata telah berhasil menebarkan benih cinta kasih ke 70 negara di dunia, menciptakan sebuah dunia cinta kasih yang begitu besar dan luas sampai tidak pernah terbayangkan. Berada di Taiwan yang luasnya tidak seberapa, pada sebuah kota kecil Hualien yang bersandar pada gunung dan menghadap ke laut, mengapa dapat menyimpan sebuah energi pencipta budaya yang sedemikian raksasa? Seorang wanita yang terlihat lemah lembut dan manis, kenapa mampu memikul tanggung jawab yang seberat gunung? Selain kekuatan kebajikan yang mampu menyebar ke mana-mana, mungkin hanya dapat dijelaskan sebagai keajaiban saja. Sekarang dikarenakan misi-misi luhur Tzu Chi telah terkenal di seluruh dunia, maka Hualien seakan telah berubah menjadi sebuah tempat suci dalam agama Buddha, setiap hari ada banyak sekali umat dan relawan datang dari segala penjuru bagai berziarah ke sini, sehingga pemerintah Taiwan harus mengadakan kereta api khusus dari Taipei ke Hualien. Mereka semua bukan umat biasa, melainkan relawan yang telah berikrar untuk menghantarkan perhatian dan cinta kasih ke setiap pelosok di mana saja ada orang yang sedang menderita. Ketika saya sudah mengerti akan garis besar sejarah Tzu Chi, tiba-tiba merasakan kalau Hualien yang indah, namun sering dilanda gempa dan topan, benar-benar seperti sebuah perahu welas asih yang menyeberangkan semua makhluk menderita ke alam kebahagiaan, perahu ini menimbulkan riak gelombang penuh kasih dan amal di atas Samudera Pasifik bagian Timur, satu demi satu gelombangnya akan menyebar ke seluruh dunia mengikuti aliran samudera. Teman di Taiwan mengatakan, dengan jasa pahala dari Master Cheng Yen, sudah sepantasnya beliau mendapatkan “Nobel Perdamaian”. Awalnya saya merasa ragu, namun setelah mendengarkan penjelasan mereka dan memahami jasa-jasa Tzu Chi yang sedemikian agung, sebaliknya saya sekarang menganggap kalau tiada penghargaan di dunia ini yang cukup sepadan untuk menghargai jasa-jasa wanita agung ini.”
  
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kesibukan, kadangkala saya ada melewati Jalan Zhong Yang di mana ada komplek Tzu Chi, namun hanya melihat dari jauh saja. Itu adalah sebuah medan maknit semangat yang sangat besar, saya yang tidak mendekat tentu saja tidak tahu.

Mendekat ke Griya Perenungan

Dengan semakin dekatnya waktu pulang, saya mulai merasa sedikit gelisah. Guan-hong setiap hari ada banyak hal hendak dikerjakan, juga harus selalu mengaturkan acara kegiatan untukku, jadi saya tidak ingin menambah beban pikirannya. Namun melihat ke sana ke mari, tiada seorang pun di dunia ini yang lebih cocok untuk memberikan rekomendasi. Hari itu, saya sambil lalu menyampaikan maksudku. Guan-hong menjawab kalau bukan saja saya yang ingin pergi, dia sendiri juga sudah lama tidak berkunjung ke Griya Perenungan, dia memang ingin pergi, namun tidak berani, ternyata sejak tamat S3 dari Universitas Taiwan dan kembali ke kampung halaman Hualien, Master Cheng Yen pernah memintanya untuk mengajar di Universitas Tzu Chi, namun kebetulan dia malah pergi mengajar ke Universitas Dong Hwa. Di bawah sadar, dia merasa malu dan takut bertemu dengan Master Cheng Yen. Untungnya salah seorang muridnya di kelas S3, Hong Su-zhen adalah Kepala Sekretariat pada Universitas Tzu Chi, juga pernah mengepalai tim editor “Buku kata perenungan Master Cheng Yen”, seseorang yang boleh senantiasa berada di samping Master dan mendengarkan ajarannya, jika meminta dirinya untuk meminta ijin pada Master, seharusnya ada hasil yang memuaskan.
Ternyata dalam waktu singkat telah mendapatkan kabar bahwa Master Cheng Yen akan menemui kami pada tanggal 29 April 2011 jam 2 sore.
 
Pada pagi hari itu, saya menyampaikan kuliah sesi terakhir di Universitas Dong Hwa “Melihat kembali sejarah dan masa depan ilmu kisah-kisah dunia”, Hong Su-zhen juga ikut duduk di kelas mendengarkan kuliahku. Sehabis jam kuliah, Hong Su-zhen menyampaikan salam dan lekas-lekas berlalu. Menurut Guang-hong, dia pulang untuk mengganti seragam (ini merupakan salah satu tata krama Tzu Chi), sehabis makan siang, kami akan bertemu muka di rumah kediaman Master Cheng Yen yaitu Griya Perenungan. Sehabis makan siang sederhana, sekitar jam 1 siang kami berangkat dengan mobil ke Kantor Pusat Yayasan Buddha Tzu Chi, Griya Perenungan. Mengenai Griya Perenungan tertulis di laman Baidu sebagai berikut:
“Yayasan Buddha Tzu Chi berdiri pada tahun 1966, awalnya menumpang pada Vihara Pu Ming, tahun 1968 membangun Griya Perenungan, saat itu ibu kandung dari Master Cheng Yen membelikan lahan tanah dengan dana sebanyak NTD 200 ribu, Master Cheng Yen membangun sendiri Griya Perenungan bersama-sama dengan para muridnya, bangunannya bergaya dinasti Tang, pada awalnya hanya ada aula utama dan tambahan bangunan di sampingnya sebagai ruang bertamu, di aula utama dipuja Sakyamuni Buddha, Avalokitesvara Bodhisattva dan Ksitigarbha Bodhisattva. Atapnya semula disusun dengan genteng hitam Jepang, namun disebabkan Hualien sering dilanda gempa dan topan, genteng semula sudah banyak rusak, sehingga pada tahun 1970, guru dari Master Cheng Yen, yaitu Master Yin Shun memberi bantuan NTD 100 ribu untuk mengganti genteng atap, Master Cheng Yen memutuskan untuk mempergunakan coran beton demi mencegah terjadinya kerusakan akibat bencana, beliau turun tangan sendiri bersama-sama dengan para pekerja bangunan untuk menyetel kemiringan bubungan rumah. Griya Perenungan terutama dipergunakan sebagai lahan pelatihan bagi para Bhiksuni dan umat wanita. Sejak tahun 1968 sampai sekarang 40 tahun kemudian, Griya Perenungan telah direnovasi sebanyak 11 kali disebabkan pertumbuhan jumlah umat dan pertambahan fungsi. Insan Tzu Chi menyebut Griya Perenungan sebagai ‘kampung halaman batin’.”
 
Dua puluh menit kemudian, kami tiba di luar dinding pagar Griya Perenungan yang dekat ke gunung dan menghadap ke laut. Karena waktu masih dini, Guan-hong membawa saya mengunjungi sebuah desa di mana sering menjadi tempat bermainnya di masa kecil dulu, yaitu desa Kang Le yang berada di kawasan pinggang gunung, serta sebuah SD yang sangat akrab dengan masa kecilnya, yaitu SD Jia Min. Ketika dua orang setengah baya seperti kami memasuki komplek SD, cukup terasa waktu berlalu dengan cepat dan mengalir terus tanpa kembali lagi. Cuaca hari itu sangat baik, bukit agak berkabut, awan tipis dan angin berhembus lembut, dinding bagunan berwarna abu-abu dan bubungan atap bentuk kumis dari kumpulan bangunan Griya Perenungan yang tersebar dengan rapi terlihat kontras dibandingkan dengan pemandangan gunung dan lahan terbuka di sekelilingnya, sepertinya sangat indah dan murni, tenang dan megah. Memandang “kampung halaman batin” insan Tzu Chi sedunia ini dari jauh, dalam hatiku timbul semacam perasaan hangat tak terkatakan, seketika berbagai perasaan mengisi kalbu dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
 
Setelah memarkirkan mobil pada sebuah lahan parkir yang luas, kami menapaki sebuah jalan kecil berlantai semen berdinding pohon hijau di sampingnya, lalu berjalan dengan santai menuju Griya Perenungan. Guan-hong sambil berjalan bercerita padaku, ketika berusia muda dia sering mengisi liburan dengan menetap selama beberapa hari di Griya Perenungan, para Bkhiksuni di sini sangat sayang padanya, namun kadangkala ada umat wanita yang tidak dikenalnya berteriak ketika tiba-tiba ada seorang anak kecil masuk ke dalam, ketika mengenang kembali pemandangan saat itu sungguh membuat orang tidak dapat menahan gelak tawa.

Sesaat kemudian tibalah di gerbang Griya Perenungan. Hanya terlihat ada sebuah taman hijau berbentuk bulat berada di depan Griya Perenungan, logo Tzu Chi yang dirombak dari kayu poplar kuning bagaikan sepasang tangan hijau terbuka yang menopang sebuah hati cinta kasih, seakan memberikan kehidupan penuh energi pada semua orang. Bangunan utama Griya Perenungan yang paling awal adalah sebuah bangunan sederhana yang beratap genteng abu-abu dan dinding putih, empat tiang koridor berwarna putih bersih menopang bubungan rumah bentuk kumis dan koridor pintu, di bawah lambang swastika dari kanan ke kiri ada tulisan “Griya Perenungan”. Pada lahan rumput di kedua sisi berdiri empat batang pohon pinus yang bentuknya unik, dikombinasikan dengan koridor berliku-liku dan langkan Griya Perenungan yang terbuat dari kayu, ringkas dan halus, memiliki ciri khas bangunan ala Jepang. Maafkan kalau pengetahuanku dangkal dan sempit, saya tidak pernah melihat sebuah bangunan agama Buddha yang sedemikian sederhana dan bernada rendah, juga kena di hati. Dalam benakku terlintas satu demi satu aula menjulang dan atap melengkung ke atas daripada biara-biara kuno di gunung-gunung terkenal, juga kondisi ramai di mana umat lelaki dan wanita membakar dupa dan memohon keselamatan, serta menyembah-nyembah di bawah patung Buddha, jika dibandingkan dengan Griya Perenungan, terasa benar kalau semangat Tzu Chi berbeda dengan lainnya dan seakan berdiri sendiri.
 
Setelah sampai di lapangan kecil Griya Perenungan, terlihat di jejauhan ada tidak sedikit anak-anak sedang bermain-main di atas rumput, di sampingnya ada beberapa orang relawan yang berseragam Tzu Chi memanggul kamera dan mengambil gambar video, sesudah bertanya kami baru tahu kalau mereka itu adalah murid-murid SD Tzu Chi yang sedang melakukan perekaman acara televisi. Guan-hong memberitahukan kepadaku, pendidikan Tzu Chi memiliki jenjang yang lengkap, dari TK, SD, SMP, SMA sampai Universitas, juga sampai jenjang S2 dan S3, merupakan sebuah sistim pendidikan yang sangat lengkap.  Sepengetahuanku, misi budaya humanis Tzu Chi juga memiliki media penyiaran sendiri, seperti Da Ai TV, penerbitan majalah, percetakan dan tim pemasaran, siaran Da Ai TV mencapai separuh wilayah dari bumi ini, ranking pemirsanya di Taiwan berada di peringkat atas. Pendidikan budaya humanis Tzu Chi yang berpusar pada “Kata Perenungan” boleh dikatakan merupakan semacam pendidikan hidup, pendidikan batin dan pendidikan pembentukan kepribadian yang memadukan pengetahuan dengan tindakan, ini yang disebut dengan “pendidikan holistik”. Sebetulnya pendidikan budaya humanis ini adalah satu aliran dengan pendidikan budi pekerti, membina diri dan mengurus rumah tangga dari ajaran Konghucu, seperti dua jalan berlainan untuk mencapai tujuan yang sama.

Pada saat ini, Hong
Su-zhen sudah datang, dia sekarang mengenakan seragam Tzu Chi berupa cheongsam biru, dia dengan gembira memperkenalkan kepadaku: “Lihat! Anak-anak Tzu Chi itu betapa penurut dan tahu tata krama, bukankah berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya?” Mendengar perkataannya ini, saya baru memperhatikan kalau anak-anak usia 7-8 tahun ini, walau pun wajahnya masih bocah, namun gerak-gerik mereka berbudaya dan berbudi halus, di lapangan rumput itu tidak ada suara teriakan atau ribut berkejar-kejaran.
 
Setelah memotret beberapa lembar foto, waktunya pun telah tiba. Di bawah panduan Hong Su-zhen, kami masuk ke dalam Griya Perenungan melalui pintu samping. Ketika mengganti sepatu di depan pintu, Hong Su-zhen secara khusus memintaku agar membelakangi anak tangga dengan muka menghadap ke luar, katanya Master meminta insan Tzu Chi agar setiap saat dan di mana saja harus memperhatikan tata krama, di Tzu Chi disebut dengan “sikap yang bermartabat”. Contohnya ketika mengganti sepatu di anak tangga, punggung menghadap ke anak tangga dan muka menghadap ke luar, dengan demikian selain memperlihatkan citra anggun kepada orang, ketika ke luar nanti akan memudahkan untuk memakai sepatu kembali. Walau pun hanya berupa gerakan kecil, namun membuat orang merasakan keelokan dan kegelimangan budaya humanis Tzu Chi yang membasahi tanpa bersuara. Kami melewati sebuah koridor panjang beralas papan kayu yang bersih tanpa noda, semuanya terlihat sangat damai dan tenteram, bagaikan tiba di alam suci yang jauh dari duniawi, jantungku terus berdetak keras, seperti lupa diri berada di mana.

Pertama kali bertemu Master

Kami terus mengikuti Hong Su-zhen dan tidak tahu sudah berapa kelokan, juga tidak ingat melihat apa saja, diriku bagai orang bodoh saja. Kesan paling mendalam adalah orang di sini sungguh berbeda dengan orang di luar sana, setiap kali bersua dengan seorang Bhiksuni atau relawan berseragam Tzu Chi, saya melihat setiap lembar wajah penuh dengan suka cita, dilanjutkan dengan sebuah bungkukan badan, tangan beranjali dan ucapan “Gan En” (terima kasih). Saya menemukan bahwa bukan hanya Taiwan yang memiliki satu set kosa kata tersendiri, ternyata insan Tzu Chi juga memiliki kosa kata tersendiri, “Gan En” adalah salam yang senantiasa melekat pada bibir mereka.
 
Dengan cepat kami tiba di depan sebuah bangunan bentuk segi empat yang anggun dan tenang. Di depan pintu kembali kami berganti sandal dan masuk ke balai. Ini adalah tempat di mana Master Cheng Yen menerima kunjungan tamu dari segala pelosok dunia, balai terbagi atas bagian dalam dan bagian luar, ruang menerima tamu bagian luar ada seluas 200 meter persegi, dekorasinya sangat indah halus dan anggun, terlihat para Bhiksuni dan anggota Komite Tzu Chi lalu lalang di sana, kecuali saling mengucapkan salam, tiada lagi suara lain. Bhiksuni yang melayani kami mengatakan kalau Master sedang berada di dalam dan sebentar lagi akan ke luar menemui kami. Saya mengamati kondisi dalam balai, terasa bukan saja indah halus dan sederhana, juga moderen, semua perabot terbuat dari kayu, semuanya bebas dari debu, pada rak patung di tengah balai terdapat patung Avalokitesvara Bodhisattva berwarna putih, mengingatkan kami kalau tempat ini masih ada hubungan dengan agama Buddha, televisi LCD yang tergantung di atas ambang pintu menayangkan informasi terkini. Tradisional dan moderen, budaya humanis dan teknologi, agama dan duniawi, ternyata dapat menjadi kombinasi yang saling melengkapi di sini. Sinar mentari yang lembut masuk melalui jendela yang terang dan besar, tirai jendela hanya menutup semu, sehingga sinar mentari masuk dengan tepatnya, di atas bingkai jendela digantungkan papan yang berisi tulisan “Menciptakan keberkahan bagi khalayak ramai”, “Menyebarkan agama demi membalas budi negara”, “Giat berbuat demi kesejahteraan umum”, “Menciptakan keberkahan bagi kampung halaman”, semua papan ini dihadiahkan oleh aparat pemerintah. Setelah mendapatkan ijin, saya memotret papan-papan ini.
 
Pintu ruang dalam terbuka dan beberapa orang Bhiksuni berjubah abu masuk beriringan, di antara mereka ada anggota Tzu Ching (muda-mudi Tzu Chi) yang berseragam biru muda, mereka terlihat memisah pada kedua sisi, seorang Tzu Ching dan seorang Bhiksuni meletakkan meja persegi di kedua samping dari posisi utama yang terbuat dari kayu cendana janggi, di atas masing-masing meja persegi diletakkan sebuah komputer jinjing yang sudah dihidupkan. Jelas sekali kalau mereka adalah sekretaris pencatat untuk pertemuan kali ini (belakangan saya baru tahu kalau setiap gerak dan ucapan Master setiap harinya ada orang khusus yang mencatat, di mana setiap triwulan akan diedit dan diterbitkan sebagai buku “Catatan harian Master Cheng Yen” yang tebal, buku ini diedarkan ke seluruh dunia). Dalam sekejap semuanya dituntaskan tanpa sedikit pun suara. Pada saat ini, Hong Su-zhen mengingatkan diriku kalau Master akan segera datang. Saya melihat pada wajahnya ada semacam mimik serius, khidmat dan hormat seperti sudah biasa, Guan-hong juga segera bangkit dari tempat duduk, ekspresi wajahnya penuh kerendahan hati namun gembira, perasaan ini segera menjalar kepada diriku. Hong Su-zhen berpaling padaku dan berkata dengan suara kecil: “Guru Liu, kita sebagai murid harus bernamaskara jika bertemu Master, kalau anda terserah saja.”
 
Namaskara? Seketika dalam otak besarku mencari arti katanya yang tepat, tanpa tertahankan perasaanku menjadi tegang.
 
Selanjutnya, saya melihat Master Cheng Yen yang berperawakan tidak tinggi dengan wajah penuh kewelas asihan pelan-pelan berjalan ke luar dan tiba di meja utama, wajahnya terus tersenyum, seperti menghadiri sebuah pertemuan keluarga biasa. Sulit untuk dipercayai kalau Master Cheng Yen yang tahun ini sudah berusia 74 tahun terlihat hanya sekitar 60 tahunan, kedua matanya bercahaya dan air muka berseri-seri; harus diketahui kalau Master hanya tidur empat jam sehari, jam 3 pagi sudah bangun untuk membaca Sutra, membaca dan melakukan kebaktian pagi, setelah berceramah, Master akan menangani masalah-masalah Tzu Chi dari seluruh dunia melalui teleconference, kemudian bertemu dengan tamu dari segala penjuru yang seperti saya ini. Biar urusan apa pun pasti dikerjakan Master sendiri, setiap hari menangani ribuan urusan, setiap hari sibuk sampai jam 11 malam baru beristirahat. Boleh dikata kesibukannya tidak kalah dari kepala negara mana pun di dunia ini. Biar pun demikian, Master tetap penuh energi dan memiliki kebijaksanaan luar biasa, setiap ucapan dan tindakannya membuat para murid mengingat betul-betul dan diterima sebagai pedoman yang harus diikuti. Insan Tzu Chi terdiri dari berbagai warna kulit, agama, warga negara, latar pendidikan dan profesi, boleh dibilang menyimpan segala macam bakat, penuh dengan orang-orang berpotensi, namun biar seberapa “senior”, “menonjol” atau “terus terang” seseorang itu, begitu membicarakan Master, tiada satu pun yang tidak menaruh hormat. Sebagai seorang yang selalu berhati-hati bahkan waspada terhadap “kultus individu”, saya dapat membedakan kalau penghormatan penuh ketulusan ini bukan berasal dari hasil “cuci otak”, melainkan timbul dari kepercayaan nan tulus terhadap moralitas, kebijaksanaan dan kewelas asihan Master. Hong Su-zhen yang membawa kami datang awalnya merupakan seorang dosen perguruan tinggi yang kenyang dengan buku-buku, dia sudah jatuh hati pada Master ketika baru datang ke Tzu Chi, seiring perjalanan waktu, dia kemudian menjadi urid Master yang paling setia. Ini adalah sebuah contoh baik dari “tetap hormat tak peduli seberapa lama pun”. Di dunia ada berapa orang yang mampu membuat orang “tetap hormat tak peduli seberapa lama pun”? Tidak banyak. Tidak berlebihan kalau dikatakan ketika saya bertemu dengan Master Cheng Yen, saya akhirnya paham sendiri akan sepatah kata yang sering terdengar, yaitu “menganggap seseorang sebagai dewa”. Saya terkejut senang menemukan kalau waktu seakan berjalan lambat pada tubuh Master Cheng Yen, seakan ingin murid Buddha yang agung dan maha welas asih ini agar dapat berbuat lebih banyak demi semua makhluk dan berbuat hal yang lebih besar lagi.
 
Pada saat ini, Hong Su-zhen telah berdiri dengan sikap penuh hormat di depanku, siap-siap untuk bernamaskara. Saya mendengar Master mengatakan: “Tidak perlu.” Sebelum perkataan Master habis, dua orang di depan sudah berlutut, beranjali, menundukkan tubuh dan bersujud. Sama sekali tidak tampak keraguan sedikit pun, saya bersama dua orang yang membawaku ke sini juga menirunya, dengan sungguh-sungguh bernamaskara dengan sikap paling khidmat. Seumur hidup saya sangat jarang berlutut, terlebih lagi tidak tahu apa itu “namaskara”, namun pada seketika itu, saya merasakan kepuasan dan kehangatan tiada terhingga. Sejujurnya, walau saya memiliki hati simpati dan hormat terhadap segala agama, namun dikarenakan “akar kebijaksanaan” tidak cukup atau terlalu berat kepala untuk disadarkan, maka sampai sekarang saya belum menjadi umat dari agama apa pun. Namun pada seketika itu, hatiku tenang karena merasa tidak bersalah. Saya bukan saja bernamaskara pada seorang Bhiksuni agung bermoral tinggi, seorang Bodhisattva dunia yang menolong orang-orang menderita, terlebih lagi adalah “orang paling cantik di seluruh Taiwan”, seorang ibunda maha mulia yang meratapi alam semesta dan menyesali nasib umat manusia, selalu mengkhawatirkan dunia dan segala isinya.
 
Selesai namaskara, kami duduk di posisi masing-masing. Guan-hong dan Hong Su-zhen memperkenalkan secara ringkas tujuan dan kondisi kunjunganku ke Taiwan. Master mendengarkannya dengan cermat, kedua orang sekretaris mengetik pada keyboard dengan sangat cepat, masih saja tiada suara lain. Master terlebih dahulu berbincang hal-hal biasa dengan Guan-hong, para Bkhisuni yang kenal padanya juga datang satu persatu menyampaikan salam. Guan-hong tumbuh besar di bawah pandangan Master, jika diurut tua mudanya dalam angkatan, dia harus memanggil Master sebagai “Shigong” (kakek guru). Sepatah kata Master “Guan-hong, sudah lama kamu tidak pulang ke sini” membuat orang merasa sangat akrab, namun sepertinya ada nada menyalahkan terkandung di dalamnya. Guan-hong segera melaporkan kondisinya selama beberapa tahun ini, secara khusus menjelaskan bahwa walau pun dirinya tidak berada di Universitas Tzu Chi, namun tetap merupakan anggota komite luar sekolah daripada Universitas Tzu Chi, dia ada berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Tzu Chi. Kami sambil mendengar sambil tersenyum, suasananya sangat harmonis. Master setiap hari menemui sedemikian banyak orang, percakapan sedemikian akrab takutnya sangat jarang terjadi, bagaimana tidak membuat orang merasa hamonis dan bersuka cita?
 
Selanjutnya saya menyampaikan rasa hormat dan kagum dari hati sanubari terhadap Tzu Chi dan Master, serta mengatakan: “Dua huruf ‘Hua Lian” (Hualien), jika dibalik adalah ‘Lian Hua’ (bunga teratai), bunga teratai berhubungan erat dengan agama Buddha, Tzu Chi terlahir di Hualien benar-benar merupakan takdir. Tzu Chi dapat melangkah sampai seperti sekarang ini merupakan sebuah keajaiban besar.”

Mendengar itu Master memberikan tanggapan dan dengan tenang berkata: “Masalah Tzu Chi membutuhkan semua orang untuk sama-sama melakukannya.” Berucap sampai di sini, Master memandang padaku: “Setelah kamu kembali nanti, juga boleh mulai melakukannya.”

Kecepatan bicara Master sangatlah lambat, nada suaranya ramah, setiap patah kata sepertinya terlebih dahulu dipikirkan dengan sangat lama, namun juga sepertinya terlompat lidah. Menurut informasi, tiga jilid “Kata Perenungan” yang telah diterbitkan, awalnya merupakan “ucapan” Master seperti ini. Walau pun saya tidak tahu apa yang dapat saya lakukan nanti, tetapi terhadap harapan Master ini, saya tetap menganggukkan kepala dengan sungguh-sungguh. Walau saya tidak cekatan, namun hati “akan bertindak sesuai arahan” ini tetap saja ada.
 
Kami berbincang sampai masalah bantuan Tzu Chi bagi korban bencana banjir besar di Tiongkok Timur tahun 1991 dan gempa Wenzhuan 12 Mei 2008. Pada 20 tahun lalu, ketika Master memberi himbauan kepada insan Tzu Chi Taiwan untuk menolong korban bencana di Tiongkok, banyak sekali kritik yang diterimanya. Namun Master tetap bertahan, sebab dia yakin kalau Taiwan dan Tiongkok adalah satu keluarga dan memiliki sentimen nasional yang sangat dekat, juga Tzu Chi memiliki misi mencabut penderitaan tanpa membeda-bedakan, makanya Tzu Chi tidak membicarakan masalah politik, agama atau strata, hanya tahu ada penderitaan yang perlu ditolong. Oleh karenanya, semangat Tzu Chi mendapatkan sambutan hangat dari semua warga dari berbagai ras, agama, negara dan budaya.
 
Ketika membahas sampai kondisi perkembangan Tzu Chi di Tiongkok, para Komite di samping mengatakan bahwa setelah melakukan bantuan bencana selama 20 tahun pada 28 kota, propinsi dan wilayah otonomi di Tiongkok, perlahan-lahan sudah ada semakin banyak warga Tiongkok yang memahami akan semangat cinta kasih universal dan misi amal Tzu Chi, sekarang ini kantor pusat Tzu Chi di Tiongkok ada di Suzhou, pada banyak kota dan propinsi juga ada kantor cabang, Kantor Tzu Chi di Shanghai berada di sekitar Taman Changfeng pada daerah Putuo. Pada saat ini ada seorang pemuda berjas biru datang ke sampingku dan memberikan selembar kartu nama, ternyata dia adalah Wakil Kepala Departemen Kerohanian pada Pusat Badan Misi Tzu Chi, Wang Yun-jing, di atas kartu nama ada alamat Kantor Tzu Chi di Shanghai yang baru ditulis dengan ballpoint (Jalan Daduhe lorong 168 blok H nomor 22) dan nomor telpon genggam dari benih pertama Tzu Chi di Tiongkok, Qiu Yu-fen.

Melihat Master berbicara dengan hidup, saya tidak tertahankan untuk bertanya: "Apakah Master pernah berpikir untuk berkunjung ke Tiongkok?”
 
Pertanyaan ini sepertinya memang sangat dinantikan semua orang, sebab sepengetahuanku, walaupun hati cinta kasih Master Cheng Yen telah tersebar ke seluruh dunia, namun Master tidak pernah meninggalkan pulau Taiwan, Master hanya berpendidikan SMP, namun seumur hidup sangat giat belajar, bukan hanya rajin membaca buku ajaran Konghucu dan Sutra agama Buddha, juga dapat membedakan dengan bijak segalanya, Master tidak pernah ke luar negeri, namun tahu akan semua masalah di dunia. Demi menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, Master tenyata berhasil belajar menggunakan komputer pada usia 70 tahun. Di Griya Perenungan Hualien, Master setiap hari menerima laporan dari seluruh dunia melalui teleconference, memahami informasi dari setiap pelosok, terutama kondisi bencana di dunia, serta memberikan keputusan dengan cepat, secara efektif mengendalikan kegiatan bantuan bencana dan kegiatan amal di setiap tempat. Pada saat terjadi tsunami Asia Selatan tahun 2004, bantuan bencana yang datang pertama ke lokasi bencana ternyata bukan dari pemerintah setempat, melainkan relawan Tzu Chi yang sudah terlatih baik.
 
Alasanku menanyakan pertanyaan ini adalah karena saya mendengar kalau Master tidak pernah meninggalkan Taiwan disebabkan kondisi kesehatan tubuhnya tidak sesuai untuk menumpang pesawat terbang. Sedangkan Tiongkok hanya terpisah oleh sebuah selat dengan Taiwan dan dapat dicapai dengan kapal laut dengan perjalanan tidak jauh, tentu saja saya boleh berharap terhadap Master yang sangat mencintai budaya Tionghoa dan senantiasa menaruh perhatian pada Tiongkok ini.

Master tertawa ringan dan berkata: “Lihat saja jalinan jodoh nanti.” Setelah berhenti sejenak, Master melanjutkan: “Kalau saya mau ke luar negeri, saya harus pergi ke banyak tempat di seluruh dunia, jika saya pergi ke suatu tempat saja, tetapi tidak pergi ke tempat satunya lagi, tentu tidak baik.” Sepatah kata sederhana namun sebetulnya mengandung ketelitian dan kewelas asihan Master.

Waktu setengah jam berlalu dengan cepat. Mengingat usia Master yang sudah lanjut dan tidak boleh terlalu lelah, maka saya tidak berani mengganggu terlalu lama dan minta diri. Sebelum pergi, Master bukan saja menghadiahkan padaku satu set buku terbitan Tzu Chi (termasuk satu jilid Kata Perenungan terbitan baru, Majalah Bulanan Tzu Chi edisi 532 dan 533, Majalah Rhythm edisi 153 dan 154, serta satu jilid buku Dunia Tzu Chi), juga menghadiahkan angpao Master dan satu koin kenangan 45 tahun Tzu Chi. Lebih membuat diriku teringat dengan rasa haru adalah Master secara langsung mengenakan gelang tasbih berwarna hijau muda ke tanganku, serta berfoto bersamaku sebagai kenang-kenangan. Ketika ke luar dari balai, Hong Su-zhen berkata: “Guru Liu, anda sungguh beruntung, Master menemui anda selama setengah jam lebih, ini adalah peristiwa sangat langka.” Saya seketika membungkukkan badan sesuai tata krama Tzu Chi, sambil beranjali mengucapkan “Gan En” (terima  kasih). Sebetulnya dalam hatiku sangat jelas, jika tidak ada Guang-hong dan dirinya, bagaimana mungkin saya memiliki buah keberkahan ini?
 
Kemudian kami dengan ditemani Hong Su-zhen meninjau tempat-tempat lain di Griya Perenungan, paling berkesan bagiku adalah foto-foto berharga yang dipajangkan dalam tempat pameran sejarah Griya Perenungan, serta tulisan-tulisan “Sizhuan, ayo semangat”, “Thailand, ayo semangat” dan “Haiti, ayo semangat” pada celengan bambu yang diletakkan di muka pintu, “masa celengan bambu” yang penuh kesulitan adalah bukti terbaik daripada semangat cinta kasih universal Tzu Chi. Dalam Aula Perenungan (Jing Si Tang) yang menjulang dan megah, serta pemandangannya luar biasa, Hong Su-zhen memandu dan menjelaskan kepada kami selama dua jam, membuat mataku terbuka lebar. Sore hari itu merupakan sebuah pembaptisan batin yang “lebih jauh dan semakin jauh sampai tiada terhingga” dan telah terukir dalam kehidupanku yang awam.

Tiada bagian penutup

Panjang artikel ini sudah melewati perkiraan semula, seharusnya ada bagian penutupnya. Namun apa yang ingin saya katakan sebaliknya adalah “Tidak ada bagian penutup”.
 
Teringat pada saat baru tiba di Taiwan, saya selalu terharu oleh kondisi dan kebiasaan setempat, serta kebiasaan umum yang sederhana dan baik hati dari warga Taiwan. Bahkan saya ingin menulis sebuah artikel berjudul “Orang baik Taiwan”, sebagai ungkapan perasaan berterima kasih kepada saudara sebangsa di Taiwan. Mengapa sama-sama keturunan Han, sama-sama melewati masa penuh perubahan di abad 20, namun warga Taiwan berhasil memupuk semacam “kepribadian” yang berbeda dengan warga Tiongkok, sehingga kita dapat seketika membedakannya dari tutur kata dan gerak-gerik mereka?  Saya pernah memikirkannya dan menganggap sudah mendapatkan jawabannya. Saya semula menyangka kalau ini ada kaitannya dengan tindakan (mantan presiden Taiwan) Jiang Jing-guo yang menghapus “masa darurat” dan mengembalikan pemerintahan demokratis, memberi kebebasan pada pembentukan partai, pemberitaan surat kabar dan batasan lainnya, sehingga selama hampir 20 tahun sistim pemerintahan demokratis telah berhasil merubah  “orang Taiwan” yang pernah dikritik hebat oleh Bai Yang dan Long Ying-tai, membuat Taiwan benar-benar melangkah di jalan masyarakat sipil.
 
Akan tetapi, setelah berhubungan dengan Tzu Chi, saya terpaksa harus mengoreksi bayangan awal itu. Menurutku, warga Taiwan bisa demikian adalah terkait dengan aktifnya lembaga swadaya masyarakat, terutama kebebasan beragama dalam masyarakat Taiwan. Hidup sebagai manusia, adalah alamiah untuk memiliki cita-cita dan hak dalam mencari keyakinan dan sandaran batin, keyakinan yang sesungguhnya akan membuat seseorang mampu secara optimal mengembangkan sifat manusiawi dan mengekang sifat hewaniah, serta mendekat ke sifat dewa, sehingga dapat membangkitkan pengetahuan intuitif dan kemampuan intuitif yang semula terpendam dalam lubuk hati. Sedangkan kita yang dalam jangka waktu panjang menerima pendidikan atheis atau pendidikan materialisme, akhirnya ternyata tidak berhasil memperbaiki kondisi batin, menyehatkan kepribadian atau memperkuat rasionalisme kita, sebaliknya membentuk pola pikir “manusia bisa mengalahkan Tuhan” dan “apa pun tidak dipercaya”, membuat tidak ada lagi rasa takut terhadap alam. Semua yang diajarkan oleh orang bijak jaman dulu “tiga kaki di atas kepala ada Tuhan”, “orang berbuat, Tuhan melihat” telah pun dilupakan. Tidak tahu apakah itu merupakan keberuntungan atau tidak?
 
Dalam hal Tzu Chi, hal yang paling menggerakkan hatiku bukanlah penyebaran agama Buddhanya, melainkan insan Tzu Chi memperlakukan kegiatan amal sebagai kegiatan sehari-hari dan semangat cinta kasih universalnya yang diterapkan dalam tindakan nyata. Semua ini berkaitan dengan kewelas asihan dan keuletan, serta kebijaksanaan Master yang unggul. Perasaan sehabis membaca “Kata Perenungan” senantiasa membuatku teringat pada “kumpulan sastra Konghucu”, itu benar-benar merupakan “kata-kata Dharma” yang bijak dan membuat orang mendapatkan pencerahan. Master Cheng Yen mengatakan: “Kebahagiaan seseorang bukan karena seberapa banyak yang dimilikinya, melainkan seberapa sedikit yang dikeluhkannya.” “Beramal sesungguhnya selain bebas dari nafsu keinginan dan pamrih, juga harus disertai dengan perasaan bersyukur. Beramal adalah tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari penerima, sebaliknya malah harus dengan perasaan bersyukur berterima kasih kepada penerima karena telah memberikan kesempatan untuk bersumbangsih.” “Hal yang benar. Lakukan saja.” Semua kata-kata sederhana tanpa berbunga-bunga, namun dipenuhi kebijaksanaan ini bagaikan aliran jernih yang dapat membersihkan noda batin dan mensucikan lahan batin manusia.
 
Lebih mengharukan lagi adalah Master Cheng Yen yang tidak pernah mau menerima persembahan dari umat dan menerapkan prinsip “satu hari tidak bekerja, satu hari tidak usah makan” dalam memimpin insan Tzu Chi berbuat amal, hal yang sama sekali berbeda dengan sebagian organisasi amal yang selalu mengambil sebagian dari dana amal untuk dijadikan sebagai “dana operasional”, sumber nafkah Master dan para muridnya adalah hasil jerih payah mereka sendiri. Ketika relawan Tzu Chi berkegiatan amal, biaya transportasi dan penginapan harus ditanggung sendiri, tidak boleh mempergunakan satu sen pun dana amal. Setiap sumbangan yang diterima Tzu Chi, akan dijelaskan penggunaannya secara rinci kepada donatur, itulah sebabnya Tzu Chi sangat dipercaya oleh masyarakat. Sepulangnya ke Shanghai, saya berkenalan dengan Qiu Yu-fen, dia semula adalah seorang pengusaha asal Taiwan yang kaya, namun sekarang hampir seluruh tenaganya dicurahkan ke dalam misi amal Tzu Chi, dia yang telah berusia 60 tahun lebih telah pun menjalani hampir seluruh wilayah miskin di Tiongkok, membantu banyak sekolah dan ratusan anak-anak, semua biaya operasional yang dikeluarkan berasal dari kantongnya sendiri. Itulah sebabnya kemampuan menggalang dana Tzu Chi adalah nomor satu di Taiwan, jumlah relawan Tzu Chi adalah nomor satu di dunia, keberhasilan misi amal dan standar manajemennya telah berhasil menarik perhatian dunia.

Jalinan jodoh ini sungguh sulit diungkapkan. Jika dalam perjalanan ke Taiwan kali ini bukan ke Hualien, apa yang akan terjadi? Jika ketika saya berada di Universitas Dong Hwa, bukan Prof. Wu Guan-hong yang melayaniku, apa yang akan terjadi? Jika saya adalah seorang “berpandangan kolot”, “berhenti berkembang” dan “apa pun tidak dipercaya”, apa pula yang akan terjadi? Saya tidak tahu apa yang akan terjadi.
 
Namun dapat dibayangkan kalau dirku pasti tidak seperti hari ini dan saat ini. Saya hanya tahu kalau mulai sekarang dalam kehidupanklu yang biasa-biasa saja ini, ada sesuatu yang baru sedang tumbuh berkembang. Tanah dan kandungan air bagi organisma baru ini diberikan oleh Taiwan, diberikan oleh Hualien, diberikan oleh Tzu Chi. Jalinan jodoh ini bagaikan sebuah lagu tanpa akhir, mengalun merdu dan nyaman didengar.....
 
Artikel mulai ditulis tanggal 3 September dan selesai tanggal 8 September 2011

 
一個叫慈濟"的奇跡
 
大陸上海同濟大學文學院中文系的劉強教授進見上人,他回上海後已加入當地的教聯會並擔任志工,去年5月中旬在武漢大學舉行的現代儒學研討會,更想將上人的思想法脈梳理弘揚之,擬撰寫《知行合一:現代儒學轉換的必由之路――兼及證嚴法師思想的佛互滲與慈濟四大志業》之論文發表,另外他在部落格上也寫了當參訪慈濟的見聞與震撼,謹寄給師兄姐們參考。

一個叫慈濟"的奇跡          劉強——《臺灣鱗爪》之二十三

離開臺灣倏忽已三月有余,對臺灣的感知和懷想卻依然在繼續。兩個半月的臺灣生活,刷新了我的臺灣記憶,從此,提起臺灣這兩個字,心中便會升起一股溫馨的暖意。在臺灣的收獲實在很多,而現在看來,最大的收獲,莫過於認識慈濟並走近慈濟。

緣起一念間

2
28日, 我到花蓮的第二天,好客的臺灣東華大學吳冠宏教 授帶初來乍到的我出去遊玩,一天時間,我們先後遊覽了鯉魚潭、慶修院、松園別館、七星潭等四個景點,山海美景讓我心曠神怡,流連忘返。在從郊區趕往花蓮市 區經過中央路的時候,冠宏兄一邊開車,一邊指著馬路左邊的幾幢建築對我說:這是慈濟大學,……這是靜思堂,……這是慈濟醫院。接下來,冠宏兄向我簡單介紹了慈濟的發展史,諸如創辦於1966年(那正是大陸爆發文革之時),至今已經45年歷史,分支機構遍布全球近70個國家和地區,會眾和志工多達近1000萬,臺灣共有2300萬人口,大約每四、五個人里頭就有一個慈濟的志工……等等。一番話給我的感覺是:天方夜譚就在眼前。特別是,當我知道這一大奇跡的創造者證嚴法師,竟然是一位1937年出生於臺灣的比丘尼時,差不多要驚訝地叫出聲來。見我聽得津津有味,冠宏兄說:有機會我帶你來看看。

說者無意,聽者有心。慈濟就此成了我臺灣之行心向往之的重要一站。

冠宏兄還告訴我,他和慈濟還有著極深的淵源,她的母親陳女士就是證嚴上人最早的三十位俗家弟子之一,而今年46歲的他又幾乎與慈濟同齡,他是在證嚴上人慈愛的目光註視下長大的。每到暑假,少年的他都會到慈濟的發祥地——靜思精舍去住一段。說到這裡,他興奮起來,眼睛放光地告訴我:慈濟歷史上的第一張照片,右下角那個在小木屋前的草地上玩耍的兩三歲兒童,就是我!
 
此言一出,勾起了我更大的野心——近水樓臺先得月,也許可以在冠宏兄的引薦下,拜見一下證嚴上人?但我知道,要見這樣一位享譽世界、日理萬機的佛教領袖,談何容易!這個念頭也就是一閃,便瞬間熄滅。

很快就過了一月。三月下旬的一天,我們和臺灣育達商業技術學院的葛傳宇博士在花蓮一家茶樓用餐,閑聊時,再次聽到慈濟和證嚴上人的故事。葛博士長得人高馬 大,身高差不多一米九,但說起他曾經采訪過的證嚴法師,眼神中流露出來的那種敬仰和溫暖,讓我深受震撼。他說上人給他的第一印象就四個字:法相莊嚴。

回到宿舍,我進一步通過網絡了解慈濟。這才知道,在證嚴上人的感召和引領下,奉行內修誠正信實、外行慈悲喜舍一日不做,一日不食的慈濟人,從花蓮山腳下的那片荒涼的土地開始,從每天積攢五毛錢的竹筒歲月開始,45年來篳路藍縷,不斷精進,先後創建了諸如慈善、醫療、人文、教育四大志業以及國際賑災、社區志工、環保、骨髓捐贈等共八大法印的宏偉志業,開辟了當代佛教的靜思法脈,慈濟宗門。近二十年來,慈濟在慈善和國際賑災上扮演了非常重要的角色,對災難應對的反應速度甚至比政府還要快,幾乎哪裡有災難,哪裡就有慈濟人的身影;哪裡有貧病,哪裡就有慈濟人捐建的醫院或體檢中心;哪裡正在災後重建,哪裡就有慈濟人蓋起的希望學校。秉承人間佛教的創始人印順法師(1906-2005為佛教,為眾生的囑托,證嚴上人夙興夜寐,殫精竭慮,以出世之心做入世之事,導之以禮,教之以愛,激發起萬千弟子會眾的良知良能,真正做到了一眼觀時千眼觀,一手動時千手動,不以國家、宗教、種族、政治、文化為界限,扶危濟困,普度眾生,贏得了世界各國人民的敬重和愛戴,締造了一個大愛無邊的人間奇跡。

我在那天的博客上寫道:「今天,再次從臺灣的學者朋友們口中聽到慈濟和證嚴法師的故事,心中久久不能平靜。回來在google上搜索慈濟二字,發現這個至今不過45年歷史的宗教慈善機構,已經把慈善的種子撒遍了近70 國家,建立了一個博大恢宏到不可思議的愛心世界。面積不大的寶島臺灣,靠山面海的小小花蓮,何以蘊含著如此巨大的文化創造能量?一位看上去柔弱清秀的女 性,何以竟能挑起那樣一副如山如海的重擔?除了善的力量無遠弗屆外,恐怕只能用奇跡去解釋了。如今,因為慈濟的偉大志業享譽世界,花蓮差不多已成了一個佛 教勝地,每天都有大量的會員和志工從四面八方朝聖般地湧向這裡,以至於臺灣政府不得不開通一班從臺北直達花蓮的專列 那不是通常意義上的善男信女,而是立志要把關愛和體恤送到每一個苦難之地的志願者。當我了解了慈濟的大致歷史後,突然覺得,美麗而又地震、颱風頻發的花 蓮,真像是一艘慈航普渡的方舟,它在東太平洋上激起的仁愛慈善的浪花,一定會隨著洋流的湧動,一波一波地傳遍全世界。臺灣的朋友們說,以證嚴法師的功德, 完全應該獲得諾貝爾和平獎。起初我深表懷疑,但聽了他們的介紹,了解了慈濟的豐功偉業後,我轉而認為,什麽世俗的榮譽和褒獎都不足以表彰這位偉大女性的功績。」

隨後的日子忙忙碌碌,有時還會經過中央路的慈濟文化園區,但也是遙遙一望。那是個多大的精神磁場,沒有走近的我並不知道。

走近精舍

隨著歸期臨近,我開始變得有些焦慮。冠宏兄每天都有文山會海要處理應對,還要不時抽暇為我安排節目,我不想再給他添亂。但是,環顧周遭,世上怕再無這麽合適 的引薦者了。那天,我又順口一提。冠宏兄說,別說你想去,我也好久沒去精舍了,想去,卻又不敢去。原來冠宏兄從臺灣大學博士畢業後,立志回到家鄉花蓮,證 嚴上人曾表達過請他到慈濟大學任教的期望,後來他卻陰差陽錯去了東華。潛意識里,他有點慚愧有點怕。好在,現在他的博士班就讀的洪素貞老師,是慈濟大學的 主秘,曾主持編輯證嚴上人的《靜思語》,是可以侍坐上人、得聆親炙的弟子,請她向上人請示,應該可以有個滿意的結果吧?

果然,很快就得到消息:證嚴上人將於429 下午2時接見我們。

那天上午,我在東華大學美侖校區做完此行最後一場講座——《世 說學的回顧與展 望》,洪素貞女士就坐在下面聽講。課後洪女士和我打了個招呼便匆匆離去。聽冠宏兄說,她要回去換制服(這是慈濟的禮儀之一部分),飯後,我們將在證嚴上人 居住修行的靜思精舍會合。用過簡餐後,大概一點一刻,我們便驅車趕往佛教慈濟功德會所在地,位於臺灣花蓮縣新城鄉康樂村的靜思精舍。關於靜思精舍,百度百 科的資料顯示:「佛教慈濟功德會於1966年成立,初期借用普明寺為會所,1968年建造靜思精舍,當時由證嚴法師的母親買了土地並出資20萬元,證嚴法師協同弟子共同建造而成,采唐式建築風格,最早只有大殿及旁邊加蓋的知客室,大殿內供奉本師釋迦牟尼佛、觀世音菩薩、地藏王菩薩。靜思精舍屋頂本為日本黑瓦所鋪,因花蓮多颱風、地震,早先的屋瓦多已破損,1970年證嚴法師的師父——印順導師出資10萬元做補屋瓦使用,證嚴法師決定用水泥砌,以防止天災帶來的損害,並親自與工人一同施工、調整屋脊的斜度。靜思精舍主要是作為女眾或常住眾修行之所,從1968年年至今四十年間,因人數及功能的增加前前後後共增建了十一期的工程。慈濟之會眾稱靜思精舍為心靈故鄉。」

二十多分鐘後,我們便來到依山面海、綠樹成蔭的精舍圍墻外,因為時間還早,冠宏兄帶我走訪了山腰上他幼時經常玩耍的康樂村,還有他小時候非常熟悉的一所小學——佳民國小。兩個中年男子走進小學校園時,頗有時光荏苒,逝者如斯之感。那天天氣正好,山色空蒙,雲淡風輕,灰色墻體、人字屋脊、錯落有致的精舍建築群在山光田野的印襯下,顯得格外雅潔秀美,靜穆端莊。遙望這全球慈濟人的心靈原鄉,我的心裡湧起一種莫名的暖意,一時百端交集,無法言表。
 
在一個很大的停車場泊好車,我們沿著一堵綠色樹墻邊的水泥小路,信步向精舍走去。冠宏兄一邊走,一邊說,少年時他經常來精舍度假小住,這裡的常住師父對他非常疼愛,但是偶爾也會有不認識的女眾,為這突然闖入的小男人失聲驚呼。想象當時那樣的場面,讓人忍唆不禁。

不一會兒,就來到精舍的門前。只見一座圓形的綠色園藝花壇正對著精舍,小黃楊木修葺的慈濟LOGO猶如一雙攤開的綠手托起一顆愛心,給人以蓬勃葳蕤的生機和朝氣。精舍最早的主體建築,就是一座精美小巧、灰瓦白墻的素雅建築,四根潔白的廊柱撐起一座字型的屋脊和門廊,型標記下,自右向左是靜思精舍四 個大字。兩邊的草地上立著四株造型別致的松樹,配合著精舍木造結構的回廊與欄杆,簡潔精美,頗有日式建築的特色。恕我孤陋寡聞,我從來沒有見過一座佛教的 建築是如此樸素低調而又直指人心。我的腦海里閃現出一座座名山古剎的巍峨大殿,飛檐鬥拱,還有那佛龕佛像之下,善男信女燒香許願,磕頭如儀的熱鬧場面,相 較之下,更覺慈濟精神的與眾不同,卓然獨立。

走到靜思精舍的小廣場,看到不少小朋友在遠處的草坪上活動,旁邊還有一些穿著慈濟服裝的志工扛著攝像機在拍攝,一問才知,那是慈濟小學的孩子在錄制電視節 目。冠宏兄告訴我,慈濟的教育是全方位的,從幼稚園、小學,一直到中學、大學,大學裡還有碩士 班和 博士班,是一個非常完整的教育系統。而據我所知,慈濟的人文也有著精良專業的傳播平臺,慈濟有自己的大愛電視臺、雜誌社、出版機構和宣傳團隊,慈濟電視臺 的信號覆蓋大半個地球,在臺灣的收視率名列前茅。以《靜思語》為中心的慈濟人文教育可說是一種知行合一的生命教育、心靈教育、人格養成教育,所謂全人教育。而這種人文教育,事實上與儒家文化中的道德教育和修身齊家思想一脈相承,殊途同歸。

這時, 洪素貞 老師來了,她換了一身藍色的旗袍式的慈濟制服,興奮地向我介紹說:你看,那些慈濟的小孩子,多麽乖巧有禮,是不是和一般的小孩子不一樣?經她這麽一說,我 也發現,那些七八歲的小朋友,雖然一臉稚氣,但舉手投足,卻有一種說不出來的嫻靜儀態,偌大的草坪,沒有一個大聲喧嘩或追逐打鬧的。

拍了幾張照片,時間就到了。在 老師的引領下,我們通過側門進入精舍。在門口換鞋時, 老師特意叮囑我要背對臺階,面向戶外:上人要求慈濟人時時處處都要註意禮儀舉止,這在慈濟叫做威儀 比如在臺階上換鞋,背向臺階,面朝門外,這樣既給人優雅的形象,出來穿鞋時也更加方便。雖是一個小小的細節,卻足以讓人領略慈濟人文的細膩豐贍,潤物無 聲。穿過一塵不染的鋪著木地板的精舍長廊,一切都那麽寧靜祥和,仿佛來到遠離塵囂的世外凈土,我的心怦怦跳著,一時不知身在何處。

初見上人

跟著洪老師往前走,不知拐了幾個彎,也記不得都看見了什麽,整個人好像癡了一般。最深的印象是這裡的人與外面不同,每見到一個剃髮的女尼或穿著慈濟服裝的志工, 都會看到一張充滿喜樂的臉,接到一份鞠躬、合十、感恩的問候和祝福。我發現,不僅臺灣人有一套自己的語彙,就連慈濟人也有自己的語彙,「感恩」二字就是他 們常掛在嘴邊的問候語。

很快我們就來到一座方正雅靜的建築前。在門口,我們又換了拖鞋,走進大廳。這裡是證嚴上人接見世界各地來賓的地方,有內外兩部分,外面的會客廳大概有二百平米的空間,裝修布置得雅致而又不失莊嚴,穿僧袍的常住師 父, 和著藍色禮服的慈濟委員們來往穿梭,除了互道祝福,沒有多餘的聲音。負責接待的師父們說,上人正在裡間,稍候即出來接見。我打量了一下大廳的環境,感覺既 典雅樸素,又精美現代,一律的木制家具,一律的一塵不染,正中的佛龕上供奉著觀世音菩薩的白玉塑像,提醒著這裡與佛教的關係,而安裝在門楣之上的超薄 液晶電視屏幕,則又提示著與時俱進的消息。傳統與現代,人文與科技,宗教與世俗,在這裡竟然有一個相輔相成、相得益彰的交集。柔和的陽光從敞亮的軒窗照進 來,窗簾虛掩,光線恰到好處,窗框之上,高懸著由各級政府贈送的造福人群宣教報國熱心公益造福桑梓的牌匾,徵得同意後,我把這些牌匾拍了下來。

裡間的門打開了,幾個身著灰色僧袍的常住師父魚貫而出,其間還有身穿藍色制服的慈青(慈濟青年志工),只見他們分列兩旁,一位慈青 一位師父在紅木的主位旁邊擺了方桌,方桌上各 有一臺已經打開的筆記本電腦。顯然,他們是這次會談的秘書(後來我才知道,上人每天的言行都會有專門人員記錄,每隔一個季度會編成一部厚厚的《證嚴上人衲 履足跡》出版,全球公開發行)。這一切在瞬間完成,還是沒有多餘的聲音。這時, 洪老師提醒我:上人來了。我在她臉上看到了一種習以為常的肅穆和恭敬,冠宏兄也連忙從椅子上站起來,神色謙卑而又興奮,這種情緒很快便傳達給了我。 洪老師回頭跟我小聲說: 劉老師,我們弟子見上人是要頂禮的,您可隨意。

頂禮?那一刻,我的大腦搜索著這個詞的確切含義,不由得緊張起來。

緊接著,我看到身材不高、法相慈悲的證嚴上人徐徐走出,來到主位的桌前,她臉上帶著一絲笑意,似乎是出席一場特別家常的聚會。說來令人難以置信,今年已經74歲高齡的證嚴上人看上去不過六十左右,雙目炯炯,神采奕奕;要知道,她每天只有四個小時的睡眠時間,淩晨3時即起:誦經,閱讀,早課,開示之後,便是通過先進的視訊系統處理全球各地的慈濟事務,接見如我這樣來自四面八方的來訪者……那真是事必躬親,日理萬機,每天都要忙到深夜11時才休息。可以說,她的忙碌程度絕不亞於任何一位國家領導人!盡管如此,她依然精力充沛,智慧超群,一言一行,都讓弟子真心服膺,奉為圭臬。慈濟會員中有各種膚色、信仰、國籍、學歷、職業的人,可謂藏龍臥虎,人才濟濟,但不管多麽資深傑出率性的人,提到上人無不肅然起敬。作為一個對個人崇拜保持審慎甚至警惕的人,我能分辨出那樣的虔敬不是來自洗腦,而是來自對德行、智慧和慈悲的真誠信靠。引薦我的 洪素貞 老師本就是飽讀詩書的大學教師,剛到慈濟時對證嚴上人即相當傾心,隨著時間推移,更成為上人最忠實的弟子。這可說是久而敬之的一個好例。能夠讓人久而敬之的人,環顧宇內,真是多乎哉?不多也。可以毫不誇張地說,在見到證嚴上人的那一刻,我終於對一個耳熟能詳的詞有了切身的體會,那就是——“驚為天人!我驚喜地發現,時間,在證嚴上人身上似乎走得特別慢,以便讓這位大慈大悲的佛陀傑出弟子為天下眾生做更多、更大的事情。

這時, 老師和冠宏兄早已在我前面肅立,做好了頂禮的準備。我聽到上人說:不必了。話音未落,前面的兩位已經跪下,合十,俯身,頂禮。幾乎沒有片刻猶豫,我跟著兩位引薦人,亦步亦趨,一絲不茍地向上人行了最莊嚴的頂禮。平生絕少下跪,更不知頂禮為何物,但那一刻,我覺得無限充實而溫暖。老實說,我雖對各種宗教皆懷同情敬重之心,但由於慧根不夠或者冥頑不化的緣故,至今仍非任何一種宗教的信徒。但那一刻,我卻覺得心安理得。我頂禮的不僅是一位有道的大德高僧,救苦救難的人間菩薩,更是全臺灣最美麗的人,一位悲天憫人、心懷天下的偉大母親!
 
禮畢,我們分賓主落座。冠宏兄 和洪 老師向上人簡單介紹了我來臺的因緣和情況。上人仔細地聽,兩位秘書飛速地敲擊鍵盤,還是沒有多餘的聲音。上人先和冠宏兄聊了幾句家常,旁邊的常住師父們有熟悉他的也紛紛過來打招呼。冠宏兄是上人看著長大的,論起輩份,他要管上人叫師公。上人一句冠宏啊,你好久沒有回來了,讓人倍感親切,又似乎微有責備之意。冠宏兄連忙匯報這些年的情況,特意交代自己雖不在慈濟大學,但仍是慈大的校外委員,慈濟的很多事情都是參與的。我們一邊聽,一邊笑,氣氛非常融洽。上人每天接見那麽多人,這樣體己的談話恐怕少之又少,怎不讓人其樂融融?

接下來我表達了對慈濟和上人的由衷敬仰,並說:「花蓮二字,倒過來就是蓮花,而蓮花又與佛教有關,慈濟誕生在花蓮,真是冥冥之中註定的因緣。慈濟走到今天,更是一個莫大的奇跡。」

上人聽了不置可否,只是悠然地說:慈濟的事,需要大家一起來做。說到這裡,上人注視著我:你回去以後,也可以做起來啊?

上人說話語速很慢,語聲溫和,每一字都似乎是考慮了好久,又似乎是脫口而出。據說,已經出版過的三大部《靜思語》就是上人這樣出來的。盡管我對到底該做什麽、怎麽做尚不甚了了,但面對上人的期許,還是認真地點了點頭。我雖不敏,請事斯語矣的心還是有的。

我們又聊到關於慈濟自1991年華東水災直到5·12 川地震以來對大陸災區的救助情況。二十年前,當上人號召臺灣慈濟人救助大陸災區時,曾受到不少人的非議。但上人頂住了壓力,因為她篤信兩岸一家、血濃於水 的民族情感,並奉行無分別心地拔苦救難,所以慈濟不談政治,不談宗教,不談階層,只問苦難。惟其如此,慈濟的精神才能得到不同種族、宗教、國家和文化的普 通民眾的歡迎。

當說到慈濟在大陸的發展情況時,旁邊的慈濟委員們說,經過20年在大陸28個 省市自治區的賑災救助之後,越來越多的大陸人逐漸了解了慈濟的大愛精神和慈善志業,目前慈濟在大陸的總部設在蘇州,而在不少省市也都設有分會,上海慈濟長 風會所就坐落在普陀區長風公園附近。這時,一位身著藍色慈濟西裝的年輕男士走到我身邊,交給我一張名片,原來他是慈濟總志業中心宗教處的副主 任王運敬 先生,名片上還有圓珠筆剛剛寫好的上海會所地址(大渡河路16822H棟)以及慈濟在大陸第一顆種子邱玉芬師姐的手機號。

我看上人談興正濃,忍不住問:不知上人有無去大陸的計畫?

這個問題似乎是大家都很期待的,因為據我所知,證嚴上人雖然將愛心傳遍世界,但從來沒有離開過臺灣,只有初中文化程度的她一生不斷精進,不僅飽讀儒家和佛教經典,而且慎思明辨,不出戶而知天下,為了適應時代的發展,70歲時上人竟然學會了使用電腦!就在花蓮的靜思精舍,上人每天都要接受來自世界各地會眾的視頻匯報,了解各地資訊特別是各種自然災害的發生情況,並迅速做出判斷,高效指揮著各地志工的賑災和慈善活動。2004年東南亞海嘯爆發時,第一個趕到現場進行專業性極高的災難救助的竟然不是當地政府,而是訓練有素的慈濟志工!

我之所以問這個問題,是因為我聽說,上人之所以沒有離開過臺灣,是由於身體原因不適合乘坐飛機。而大陸和臺灣只隔著一條海峽,坐船也不是長途,這對於深愛中華文化和時刻關心大陸的上人來說,總是可以期待的吧?

上人微微一笑,說:看緣分吧。頓了一下又說,要是出去的話,全球許多地方都要去,去這裡,不去那里,反倒不好了。平平淡淡的一席話,其實也飽含著上人的細心與慈悲。

半個小時很快就過去了。想到上人年邁操勞,不敢多擾,遂起身告辭。臨行前,上人不僅送給我一套慈濟基金會的出版物(包括全新精裝的《靜思語》一冊、《慈濟月刊》第532533期,《經典雜誌》第153154期,以及《大愛灑人間:證嚴法師的慈濟世界》一冊),還惠賜慈濟福慧紅包及慈濟45周年紀年幣各一枚,更讓我感念的是,上人還親手給我戴上一串淺綠色夜光佛珠,並與我們合影留念。走出大廳的時候, 洪素貞 老師說: 劉老師你好福報,上人接見了你半個多小時,真是很難得!我當即以慈濟禮節,向她合十鞠躬道感恩。其實,我心裡明白,如果沒有冠宏兄和她,我哪裡會有這樣的福報呢?

後來,我們又在 老師的帶領下參觀了精舍的其它地方,給我印象最深的是精舍歷史陳列館里那些珍貴的照片,以及門口的那些寫著四川加油泰國加油海地加油字樣的愛心竹筒,篳路藍縷的竹筒歲月是慈濟大愛精神的最佳見證。在巍峨壯觀、氣象不凡的靜思堂, 老師給我們做了兩個多小時的導遊和講解,讓我大開眼界,那個下午,成了漸行漸遠漸無窮的一次精神洗禮,已經刻進了我平凡生命的年輪。

沒有尾聲

這篇文章的篇幅已經超出了當初的預計。照例應該有個尾聲。但我最想說的卻是這麽四個字——“沒有尾聲

記得剛來臺灣時,我每每感動於臺灣的風土人情和醇厚民風。我甚至很想寫一篇臺灣好人,以感謝那些隨處可見的臺灣同胞。為什麽同是炎黃子孫,同樣經歷過二十世紀以來的風雲變幻,臺灣人卻養成了一種和大陸人不同的氣質,讓你能從言談舉止中一下子辨認出來?我曾經思考過,並自以為找到了答案。我以為,也許與 蔣經國 先生晚年的還政於民,開放黨禁報禁的解嚴舉措有關,是近二十年的民主制度的實驗改變了柏楊和龍應臺都曾激烈批判的臺灣人,使臺灣真正走在了去往公民社會的大道上。

但是,接觸到許多慈濟人之後,我不得不校正這最初的想象。我以為,臺灣人之所以如此,還與臺灣民間組織的活躍特別是宗教信仰的自由有關。人生而為人,天生就 有追求精神信靠和靈魂皈依的願望和權利,真正的信仰會讓一個人充分發揮人性、克制動物性、接近神性,從而激發潛藏在心底的良知良能。而我們長期所受的無神 論教育或者說唯物主義教育,最終並沒有改善我們的心靈,健全我們的人格,強大我們的理性,反而形成了一種人定勝天啥都不信的思維方式,變得對自然、對天地毫無敬畏之心。傳統信仰中的頭上三尺有神明人在做,天在看,都被置諸腦後。真不知這是幸,還是不幸?

就慈濟而言,最為打動我的還不是對佛教的弘揚,而是慈濟人把慈善當作倫常日用並身體力行的大愛精神。這一切都與證嚴上人的慈悲、堅韌以及她的卓越智慧在在攸關。閱讀《靜思語》的感受,經常讓我想起《論語》,那是真正有智慧的心靈流淌出來的法語之言,讓人醍醐灌頂。證嚴上人說:一個人的快樂,不是因為他擁有的多,而是因為他計較得少。”“真正的布施,除了無欲無求外,還要有一分感恩心。布施,並不是要求得到對方的感謝,而是要以感恩心感謝對方讓我們有付出的機會。”“對的事,做就對了。這些樸實無華而又充滿智慧的語言猶如一股清泉,真能起到洗滌塵垢、凈化心田的作用。

更讓人感動的是,證嚴法師絕不接受供養,奉行一日不做,一日不食,她帶領慈濟人做慈善,絕不像某些慈善機構一樣從捐款中拿管理費 上人和弟子的生活來源都來自身體力行的勞動。而慈濟志工做慈善,交通食宿費必須自理,不能花一分捐款。慈濟對每筆捐款的去向,都詳細告知捐款者,建立了良好的社會公信力。我回到上海結識的 邱玉芬 女士,本是資產雄厚的臺商,但她幾乎把全部精力都投入到慈濟的慈善事業上,已經六十多歲的她近二十年來幾乎走遍了大陸的所有貧困地區,資助了許多學校和數 百位孩子,所用的費用都來自自己的腰包。正因如此,慈濟基金會的募款能力全臺第一,志工人數全球第一,其慈善成就和管理水準均令世界矚目。

緣這個東西,真的說不清。如果我的臺灣之行,不是去花蓮,會怎樣?如果我到東華大學,接待我的不是同好而又同道的吳冠宏教授,會怎樣?如果我是一個抱殘守缺、停止成長啥都不信的人,又會怎樣? 我不知道會怎樣。

但可想而知,絕不會像今天這樣,如此刻這樣。我只知道,今後,在我平凡的生命中,應該又有新的東西在生長。而這份新生物的土壤和水分,是臺灣給我的,是花蓮給我的,是慈濟給我的,這緣分,就猶如一首沒有尾聲的樂曲,婉轉悠揚……

201193起草,98 完稿於有竹居
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar